Example floating
Example floating
Berita

Hengky Wijaya: Perlindungan Pekerja Migran Maritim Masih Lemah

Avatar photo
15
×

Hengky Wijaya: Perlindungan Pekerja Migran Maritim Masih Lemah

Sebarkan artikel ini

Jakarta, Ketua Umum Indonesia Maritime Crewing Agent Association (IMCAA), Hengky Wijaya, mengungkapkan bahwa migrasi pekerja migran Indonesia, khususnya di sektor maritim, kini berada dalam situasi yang semakin kompleks dan rentan. Hal tersebut disampaikannya kepada awak media usai menjadi pembicara pada acara Peluncuran Catatan Tahunan (Catahu) SBMI 2025 yang digelar di Jakarta, Kamis (18/12/25).

Acara ini mengusung tema “Jejak Gelap Migrasi di Rezim Ekonomi Jaringan Bisnis Perdagangan Orang dan Runtuhnya Hak Asasi di Era Krisis Iklim”, yang menyoroti keterkaitan antara krisis iklim, eksploitasi ekonomi, dan maraknya praktik perdagangan orang terhadap pekerja migran Indonesia.

Menurut Hengky, sektor maritim kerap luput dari perhatian publik, padahal menjadi salah satu sektor dengan tingkat kerentanan tertinggi terhadap praktik eksploitasi dan pelanggaran hak asasi manusia.

“Pekerja migran maritim kita berada di garis depan ekonomi global, namun perlindungan terhadap mereka masih lemah. Dalam banyak kasus, mereka menjadi korban jaringan bisnis gelap perdagangan orang yang terorganisir lintas negara,” ujar Hengky.

Sepanjang tahun 2025, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) kembali mencatat tingginya kasus perdagangan orang, kerja paksa, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami Pekerja Migran Indonesia (PMI), khususnya pada sektor Awak Kapal Perikanan (AKP), Pekerja Rumah Tangga (PRT), serta modus baru seperti forced scamming.

Pola yang berulang ini menunjukkan bahwa persoalan migrasi tidak berdiri sendiri sebagai isu ketenagakerjaan, melainkan berkaitan erat dengan tata kelola migrasi yang lemah, orientasi kebijakan yang masih menitikberatkan pada penempatan dan remitansi, serta pembiaran terhadap praktik bisnis yang mengeksploitasi kerentanan migran.

Catatan Akhir Tahun (CATAHU) SBMI 2025 disusun sebagai dokumen reflektif sekaligus politis yang merekam situasi tersebut secara data, analisis, dan pengalaman korban. Mengangkat tema Jejak Gelap Migrasi di Rezim Ekonomi: Jaringan Bisnis Perdagangan Orang dan Runtuhnya Hak Asasi di Era Krisis Iklim, CATAHU 2025 menegaskan bahwa migrasi paksa tidak dapat dilepaskan dari krisis iklim, perampasan ruang hidup, serta kegagalan negara dalam membangun tata kelola migrasi yang berbasis hak asasi manusia.

Riset SBMI di wilayah pesisir Pemalang memperlihatkan keterhubungan yang nyata antara krisis iklim, runtuhnya mata pencaharian nelayan dan masyarakat pesisir, dengan meningkatnya migrasi paksa ke sektor-sektor berisiko tinggi, termasuk AKP migran. Dalam situasi tersebut, lemahnya pengawasan negara dan inkonsistensi kebijakan antar kementerian justru membuka ruang bagi praktik perdagangan orang dan kerja paksa yang melibatkan aktor bisnis, perantara, dan pembiaran struktural oleh negara.

Peluncuran CATAHU SBMI 2025 menjadi momentum strategis untuk tidak hanya memaparkan temuan dan data, tetapi juga mendorong dialog kritis lintas pemangku kepentingan—pemerintah, jaringan masyarakat sipil, dan publik—guna merumuskan resolusi konflik tata kelola AKP migran serta arah perlindungan PMI ke depan yang berpihak pada korban dan keadilan sosial.

Dalam kesempatan tersebut, Hengki juga menekankan pentingnya perlindungan bagi pelaku penempatan tenaga kerja maritim Hengky Wijaya: , khususnya perusahaan awak kapal. Ia menilai perlindungan terhadap industri penempatan merupakan bagian tak terpisahkan dari perlindungan pekerja migran itu sendiri. “Pemerintah harus memiliki political will yang kuat dalam membangun hubungan dengan negara-negara penempatan. Jika industrinya sehat dan terlindungi, maka dampak positifnya akan langsung dirasakan oleh pekerja migran,” pungkasnya.

Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *